Mengejar Asap Menggiring Angin

Osiano Mafioso Sontoloyo

Semua sepertinya jadi musuh kami Bang,” ujar Sari lirih kepada Deni Samara SH., advokat yang sehari-hari praktik di Ibukota Jakarta tapi kali ini dia sengaja datang ke Pematang Siantar sebuah kota kecil 125 km dari Medan, Sumatera Utara karena tergerak mendengar kisah pilu keluarga Sari. Selama sepuluh tahun terakhir keluarganya jadi sasaran teror oknum tertentu dengan maksud menjarah harta milik keluarganya.

Puncaknya terjadi saat Ibu dan abang kandung Sari ditangkap polisi. Ibunya yang seorang janda dituduh melakukan penggelapan atas uang sewa ruko miliknya sendiri.

Rony abang Sari ditangkap polisi karena dilaporkan melakukan penganiayaan terhadap perampok yang pada sore hari secara paksa masuk ke lahan kebun sawitnya dan melakukan pencurian panen kelapa sawit terang-terangan. Tidak tahan dengan ulah perampok yang semakin nekat menggarong hasil panen sawit, Rony mengajak beberapa teman untuk menjaga kebunnya.

Maksud hati hendak membuat jera si perampok, malah terjadi sebaliknya. Si Perampok membuat laporan palsu ke Polres Batubara, Sumatera Utara, seminggu kemudian Rony ditangkap polisi tanpa lebih dulu mencari bukti tentang peristiwa yang terjadi.

Semua satu kota Siantar ini kayaknya jadi musuh kami Bang,” ulang Sari kepada Deni yang berusaha mencerna cerita Sari dengan setengah percaya. “Biasanya klien suka melebih-lebihkan atau mendramatisir suatu peristiwa,” batin Deni dalam hati.

“Mana berkas perkara Ibumu? Kasih sini agar saya bisa pelajari,” minta Deni kepada Sari. “Berkas apa Bang? Kami sudah berulang kali minta kepada Jaksa, tidak pernah ditanggapi.”

“Turunan berkas perkara. Sidang Ibumu kan dua hari lagi. Dakwaan sudah dibacakan, masak kamu ga pegang berkas perkara? Bagaimana menyusun pembelaan bila ga punya berkas perkara?” tanya Deni mengejar Sari yang disangkanya tidak paham maksud pertanyaannya.

Ga ada Bang. Kan Sari sudah bilang ga ada. Sari langsung ke kantor kejaksaan tapi tidak diberikan mereka. Sari bahkan sampai temui Kepala Kejaksaan Siantar. Jawabnya malah nyuruh Sari bujuk Ibu agar mau berdamai dengan si pelapor.”

Deni langsung menduga perkara ini hanya sebagai alat untuk negosiasi. “Kan bagus diarahkan berdamai?” Sari karena kesal setengah teriak memotong perkata Deni. “Bagus darimana Bang. Kami diminta untuk serahkan separoh harta kami untuk si pelapor. Lalu si pelapor ini akan bagi-bagi dengan kuasa hukumnya, oknum polres dan oknum kejari. Padahal mana ada hak si pelapor menuntut harta keluarga kami?”

Deni tertegun. Baru mulai paham maksud ucapan Sari di awal pertemuannya. Selama sepuluh tahun keluarga Sari bolak balik dilaporkan ke polisi oleh kakak tirinya dan ibu tirinya, tuduhannya macam-macam: pemalsuan, penyerobotan, penggelapan, hingga penipuan. Pada awalnya berbagai laporan pengaduan itu ditolak polisi. Tapi sejak 2015 polisi mulai menerima laporan pengaduan oknum-oknum itu.

Selidik punya selidiki, ternyata ada aktor intelektual di balik laporan pengaduan kepada kepolisian. Seorang advokat tua yang telat populer bersama cecunguknya pengacara dungu pesolek kayak banci kawasan Menteng diam-diam jadi penyandang dana, sponsor dan fasilitator kakak tiri dan ibu tiri Sari.

Sulit diketahui pasti apa yang mendorong para pelaku ini gigih bertahun-tahun membuat laporan polisi palsu sebagai senjata meneror keluarga Sari. Setelah diberitahu sejak 2018 lalu quartet maling ini berhasil menjarah kebun sawit keluarga Mia. “Mereka jual 30 hektar kebun sawit kami yang di Jambi, Bang. Jual murah pakai surat palsu. Harga pasar dua miliar dijual mereka delapan ratus juta“. keluh Sari.

Polisi tidak mau tangkap pelaku penyerobotan tanah dan pemalsuan surat ini. Kemungkinan besar hasil kejahatan mengalir juga ke oknum polisi dan oknum jaksa. “Sudah banyak kami buat laporan Bang. Percuma. Sudah jadi tersangka pun mereka sejak tiga tahun lalu tapi tidak pernah ditahan. Mereka kebal hukum karena oknum aparat hukum jadi mitra penjahat,” ujar Sari menahan geram dan sedihnya.

Hari berganti minggu, bulan baru tiba. Kisah kehidupan keluarga Sari semakin pilu di telinga. Sedikit 200 hektar kebun sawit, sawah dan tanah perumahan sudah pindah ke tangan begundal Siantar yang kelakuannya menyamai mafia kota besar.

“Di Pematang Siantar ini tidak ada hukum Bang. Juga di daerah sekitarnya. Penjahat dan aparat kompak merampok rakyat. Kami melawan malah kami yang ditahan. Contohnya ya Ibu. Masak ditahan polisi dengan tuduhan menggelapkan uang sewa toko milik sendiri?” Ucap Sari curhat ke Deni.

Advokat senior mantan aktivis mahasiswa era 80an itu hanya bisa tertegun setengah tidak percaya. Setengah lagi otaknya mikir keras bagaimana strateginya menumpas begundal Siantar yang berlagak seperti Mafia Sisilia.