Aktivis Senior Syahganda Dituntut Enam Tahun Penjara

Aktivis senior Syahganda Nainggolan dituntut enam tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara ujaran kebencian pada sidang hari Kamis (1/4) di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. Tuntutan JPU ini adalah yang terberat kedua yang pernah terjadi di era Reformasi atau tepatnya di era Pemerintahan Jokowi.

Hukuman penjara terberat yang pernah dituntut JPU terhadap aktivis pada perkara ITE terjadi pada persidangan Raden Nuh, seorang aktivis hukum dan demokrasi pada tahun 2015 lalu. Aktivis senior yang belakangan lebih menekuni profesi advokat itu dituntut delapan tahun enam bulan karena dianggap JPU mencemarkan nama baik ketika membongkar korupsi pada transaksi tukar saham (swap) BUMN PT. Telkom dengan PT. Tower Bersama Group (TBIG) terkait akuisisi PT. Mitratel anak perusahaan PT Telkom yang sarat KKN dan merugikan negara Rp. 13 triliun.

Syahganda sendiri sebelumnya didakwa telah menyebarkan berita bohong soal omnibus law melalui cuitannya di lini masa twitter pada Oktober 2020 lalu.

Dr. Syahganda Nainggolan


“Dia (Terdakwa/Syahganda Nainggolan) terbukti secara valid dengan bukti twiter dia mengakuinya sendiri, itu memang buatan dia, dan tidak bisa dituduh orang lain twiter itu karena tidak bisa nama orang lain,” kata JPU Syahnan Tanjung, Kamis (1/4/2021).

Jaksa berpendapat, cuitan Syahganda di akun media sosial miliknya dinyatakan terbukti sebagai hasutan yang menimbulkan demonstrasi atau aksi massa menentang pengesahan RUU Omnibus Law oleh DPR.


JPU menilai cuitan Syahganda terkait RUU Omnibus Law membuat resah banyak orang dan memicu situasi tidak kondusif. Padahal dalam RUU tersebut tidak seperti apa yang dicuitkan Syahganda.

“Kalimat yang tidak pas itu yang membuat orang emosi jadi panas, padahal tidak seperti itu, ada yang dimanipulasi ada yang disebut padahal nyatanya ngga (benar). Malahan mendukung Omnibus law itu untuk kepentingan masyarakat yang bagus. Ini yang menjadi buat onar kemudian ribut dan demo,” jelas JPU Syahnan Tanjung di depan sidang Pengadilan.

Hukum dan Demokrasi Dibajak

Bagaimana tanggapan Raden Nuh tentang tuntutan JPU terhadap Syahganda Nainggolan?


Tuntutan JPU agar majelis hakim menjatuhkan enam tahun penjara terhadap terdakwa Syahganda, menurut Raden Nuh sangat berlebihan, tidak proporsional, politis dan jauh dari konteks penegakkan hukum.

Advokat Raden Nuh SH. MH. CFCC.

Aktivis senior yang juga seorang advokat ini mengatakan, sejak awal penangkapan Syahganda dkk oleh penyidik Polda Metro Jaya publik sudah menenggarai kasus ini adalah politis, bukan penegakkan hukum.

Penangkapan Syahganda, Jumhur awalnya disebutkan atas sangkaan pelanggaran UU ITE. Namun, kemudian penyidik menetapkan status tersangka Syahganda berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan atau Pasal 15 UU 1/1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.

Penangkapan para pentokan KAMI itu sendiri – tanpa pemanggilan dan pemeriksaan lebih dulu adalah nyata-nyata melanggar hukum, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri. Tudingan itu dilontarkan Raden Nuh bukan tanpa dasar. Hukum mengatur bahwa setiap penangkapan hanya atas dasar “tertangkap tangan” atau yang bersangkutan tidak datang setelah dipanggil tiga kali oleh penyidik.

Dugaan pelanggaran hukum oleh penyidik dalam penangkapan Syahganda, seperti pada kasus penangkapan Raden Nuh digugat melalui lembaga praperadilan, namun ditolak oleh hakim praperadilan.

Sudah jadi rahasia umum sangat langka gugatan praperadilan terkait penangkapan tidak sah oleh penyidik dapat dikabulkan/dimenangkan hakim.


Lembaga praperadilan tidak dapat diharapkan untuk mencari keadilan. Sangat sedikit gugatan praperadilan dimenangkan oleh hakim. Hanya untuk orang-orang tertentu. Hampir tidak ada gugatan praperadilan yang diajukan warga negara biasa dimenangkan oleh hakim.

Lembaga praperadilan yang ditentukan di dalam undang-undang hanya jadi ‘macan kertas’ bagi mayoritas rakyat Indonesia. Hanya segelintir elit negeri ini yang diakomodir gugatannya oleh hakim praperadilan.


Mengenai tuntutan enam tahun penjara terhadap Syahganda jelas adalah sangat berlebihan. Tahun 2014 lalu, Raden Nuh pernah ditangkap atas sangkaan pelanggaran UU ITE dan pada tahun 2015 dituntut delapan setengah tahun penjara. Mungkin tuntutan terhadap Raden Nuh adalah yang terberat sedunia.

Penangkapan, pendakwaan dan penuntutan terhadap para aktivis yang kritis kepada penguasa, di mana kemudian dilegitimasi hakim dengan menjatuhkan putusan hukuman yang berat, menurut para pakar dalah pembajakan terhadap demokrasi dan hukum.

Pesimis Hakim Putus Bebas Syahganda

Karena hukum dan demokrasi Indonesia sudah dibajak penguasa, maka dapat dipastikan majelis hakim takut atau tidak berani memutus perkara Syahganda yang bernuansa politis dan pesanan ini dengan mengedepankan akal sehat, hati nurani, hukum dan keadilan. Diprediksi Syahganda akan divonis bersalah oleh hakim lengkap dengan segala dalih dan alasannya.

Mengingat penangkapan, penahanan, pendakwaan, penuntutan hingga pemutusan perkara yang melibatkan tokoh aktivis selalu bernuansa politis dan pesanan, tak heran seluruh proses hukum dikemas dalam satu paket.

Banyak kalangan pesimis Syahganda dan kawan-kawan mendapat keadilan dari majelis hakim Pengadilan Negeri Depok. Jika masih berharap, maka harapan hukum ditegakkan mungkin hanya ada di pengadilan kasasi di Mahkamah Agung.

Majelis hakim nanti diprediksi tidak berani memutus bebas Syahganda, aktivis senior yang juga Ketua Dewan Pengarah Ikatan Alumni ITB itu. Sudah terlalu banyak hukum dilanggar sehingga putusan hakim nanti hanya racun tambahan bagi demokrasi di Indonesia yang mengalami kemunduran drastis, pembusukan dan diskriminatif selama 10 tahun terakhir.


Hukum sekarang lebih merupakan alat penguasa ketimbang sebagai norma. Demokrasi dan hak azasi warga negara sudah lama mati, konstitusi dan hati nurani bangsa Indonesia sudah mati suri. Mayoritas rakyat telah menjelma menjadi kaum apatis – apriori.

Quo Vadis Indonesiaku?