Pemilu – Pilpres 2019 dari Perspektif Demokrasi dan Tujuan Negara Indonesia

images (2).jpeg

Pemilu dan Pilpres 2019 mendatang akan berlangsung pada tanggal 17 April 2019 dan penetapan hasil perolehan suara partai dan calon anggoto DPR – DPD dilakukan pada tanggal 15 Mei 2019. Sedangkan penetapan perolehan suara atau pemenang pilpres baru akan dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2019 atau enam bulan sejak hari pemungutan suara.

Tidak ada penjelasan mengapa dibutuhkan waktu enam bulan untuk penetapan pemenang pilpres secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Penantian penetapan presiden terpilihan selama hampir enam bulan dipastikan akan menimbulkan gejolak politik di tengah-tengah masyarakat yang sangat menginginkan kepastian hasil pilpres melalui penetapan KPU diumumkan segera. Rakyat yang terombang-ambing di tengah ketidakpastian pemenang pilpres akan mudah tersulut aksi anarkis yang membahayakan stabilitas politik dan keamanan negara.

Berdasarkan ketentuan berlaku, penetapan pemenang pilpres didasarkan pada hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU secara manual. Artinya, KPU melakukan perhitungan terhadap semua kertas suara yang diterima dari seluruh Indonesia. Proses menghitung 190 juta kertas surat suara pilpres 2019 ini secara teknis membutuhkan waktu paling lama satu bulan, sehingga jadwal penetapan pemenang pilpres tanggal 6 Oktober 2019 dinilai tidak masuk akal dan mengundang gejolak politik. Di negara-negara lain di dunia, penetapan pemenang pilpres yang diselenggarakan melalui pemilihan langsung paling lama satu bulan sejak pemungutan suara.

Gejolak politik yang mungkin timbul akibat dari terlalu lama jadwal penetapan pemenang pilpres 2019 makin diperburuk dengan prediksi perolehan suara hitung cepat (quick count) dan hitung suara (total) elektronik oleh berbagai lembaga pemerhati pemilu/pilpres yang mustahil bisa dicegah penyebarannya oleh KPU. Selama masa penantian penetapan pemenang pilpres 2019 oleh KPU dipastikan telah banyak beredar hasil perhitungan perolehan suara pilpres 2019 yang berbeda antara satu dengan lainnya. Meski hasil perhitungan suara itu tidak dapat dijadikan pedoman namun pasti menimbulkan keresahan dan gejolak sosial politik karena KPU terlalu lama mengumumkan penetepan pemenang pilpres.

 

Pencurangan Pemilu – Pilpres

Setiap pemilu atau pilpres di mana pun berlangsung, pasti terjadi kecurangan. Pilpres Amerika 2016 yang menghasilkan Donald Trump sebagai pemenang, sampai hari ini masih dalam penyelidikan FBI, Kongres dan Senat AS terkait tuduhan intervensi pihak Rusia dalam pilpres Amerika 2016 yang menguntungkan Capres Donald Trump. Sudah banyak politisi, pejabat tinggi, orang kepercayaan Presiden Trump dipaksa mundur dari jabatan dan menjadi tersangka kejahatan pemilu berdasarkan UU AS.

Di Indonesia, pencurangan pemilu-pilpres memiliki catatan panjang. Berdasarkan penelitian, hanya pelaksanaan Pemilu 1999 yang relatif lebih jujur dan adil.

Semakin lama modus kecurangan pemilu-pilpres semakin berkembang, makin canggih, modus bertambah banyak, dan makin sulit dideteksi sedini mungkin. Terungkapnya pencurangan pemilu dan pilpres setelah penetapan pemenang diumumkan KPU, biasanya tidak menghasilkan pengaruh signifikan terhadap hasil penetapan.

Hampir tidak pernah sebuah pemilu – pilpres dibatalkan karena terbukti dicurangi salah satu pihak. Terlalu besar ‘cost politic’ jika pemilu-pilpres harus dibatalkan. Sebab itu, solusi terbaik adalah pencegahan terhadap pencurangan dalam segala bentuk dan modus.

 

Modus Pencurangan Pemilu-Pilpres 2019

Pemilu dan pilpres adalah mekanisme perebutan kekuasaan di antara para peserta pemilu-pilpres. Sepanjang sejarah peradaban manusia, perebutan kekuasaan selalu menghalalkan segala cara – perang, pembunuhan, kekerasan, tipu muslihat, dan seterusnya. Segala cara atau modus akan digunakan untuk memenangkan pemilu-pilpres. Tidak kecuali pemilu dan pilpres Indonesia tahun 2019. Terkait upaya pencurangan pemilu-pilpres, kendala terbesar yang dihadapi pelaku pencurangan adalah pengamanan pencurangan: bagaimana kecurangan dapat dilakukan dan berhasil sesuai harapan tanpa ketahuan.

Pencurangan pemilu-pilpres adalah bagian dari strategi pemenangan pilpres, dan sebaliknya: pencegahan pencurangan pemilu-pilpres adalah bagian dari strategi pemenangan.

Berdasarkan penelitian pada pemilu-pilpres sebelumnya dan perkembangan terakhir menjelang pelaksanaan pemilu-pilpres 2019, pencurangan pemilu-pilpres sekurang-kurangnya akan dilakukan dengan cara atau modus sebagai berikut:

  • Penggelembungan jumlah pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT)
  • Pemberian izin WNI pemilik EKTP sebagai pemilih meski tidak tercatat dalam DPT
  • Pemberian izin penggunaan Token di Papua
  • Penggunaan EKTP aspal oleh pemilih di bawah umur, orang asing dan pemilih lain yang tak berhak memilih
  • Manipulasi jumlah pemilih, penggunaan kertas suara dan hasil perhitungan suara
  • Penukaran dokumen rekap perhitungan suara dan kertas surat suara
  • Intimidasi terhadap kepala desa yang bermasalah hukum (korupsi dana desa dst) untuk memenangkan capres dan caleg tertentu
  • Penggunaan TPS-TPS dan desa/kelurahan fiktif
  • Sabotase dan intercept terhadap IT KPU
  • Kolusi pihak tertentu dengan oknum KPU/KPUD
  • Pembentukan opini publik yang menyesatkankan untuk melegitimasi hasil pencurangan
  • Pengerahan TNI-Polri yang disertai dengan intimidasi terhadap penyelenggara pemilu-pilpres di tingkat TPS, Desa, Kecamatan, Kabupaten-Kota, yang disertai manipulasi hasil perolehan suara
  • Penerbitan puluhan juta eksemplar ektp aspal untuk digunakan oleh pemilih ilegal dan untuk dasar pencatatan pemilih di DPT.

Esensi sebuah pemilu-pilpres bukan pada tingkat partisipasi pemilih atau pelaksanaan pemilu-pilpres yang aman dan lancar, melainkan pada penetapan pemenang pemilu-pilpres berdasarkan perhitungan hasil perolehan suara secara benar, tepat dan akurat.

 

Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa

Pemilu pada era Orde Baru 1971-1997 bukan merupakan implementasi sistem demokrasi seperti demokrasi liberal di Barat, melainkan lebih merupakan legitimasi kekuasaan rezim Orba yang sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial politik dan keamanan negara.

Segala kritik, kecaman dan hujatan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu selama era ORBA tidak dapat dibenarkan kecuali dengan pemahaman utuh mengenai situasi kondisi bangsa dan negara Indonesia pada saat itu, terutama paska G 30 S PKI / transisi kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto (1967).

Pelaksanaan Pemilu 1971 atau empat tahun setelah Suharto berkuasa merupakan wujud political will pemerintah ORBA untuk menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi, meski pun sesungguhnya bangsa Indonesia saat itu tidak membutuhkan demokrasi sebesar kebutuhan rakyat atas pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan seterusnya. Pada masa itu, demokrasi adalah kebutuhan terakhir yang mencuat dari benak rakyat Indonesia.

Pemilu 1971 – 1997 dituding jauh dari berkualitas karena praktek penggalangan massa pemilih kepada Golongan Karya, Monolitas tunggal PNS dan keluarga kepada Golongan Karya, mesin politik birokrasi dan militer digerakkan untuk pemenangan Golongan Karya, intimidasi dan persekusi terhadap rakyat pemilih tertentu agar memilih Golongan Karya, pembatasan partai politik peserta pemilu, intervensi pemerintah ke dalam internal partai politik, manipulasi perhitungan jumlah perolehan suara dan seterusnya.

Semua kecurangan pada pemilu Indonesia 1971-1977-1982-1987-1992-1997 tidak dapat dituding sepenuhnya sebagai kejahatan demokrasi karena semua kecurangan itu dilakukan pada akhirnya bertujuan untuk mencegah lahirnya ‘kejahatan demokrasi’.

Apa itu kejahatan demokrasi? Kejahatan demokrasi adalah dampak buruk yang dihasilkan dari pelaksanaan atau penerapan demokrasi di suatu negara di mana rakyat negara itu belum saatnya berdemokrasi atau demokrasi itu sendiri sebagai norma politik tidak sesuai dengan norma dan budaya rakyat negara itu. Kejahatan demokrasi adalah racun mematikan atau menyakitkan rakyat dan negara yang dapat timbul karena implikasi dan komplikasi demokrasi itu sendiri.

Indonesia pernah menjadi korban kejahatan demokrasi yaitu pada pelaksanaan pemilu 1955 guna memilih Dewan Konstituante. Sejarah mencatat Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 tidak menghasilkan Konstitusi sebagai mana yang diharapkan. Pemilu 1955 hanya menghasilkan ketidakpastian politik, kekosongan konstitusi, perpecahan elit negara, kemerosotan ekonomi dan lain-lain. Semua itu berakhir pada 1959 atau empat tahun kemudian dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 dan menyatakan Indonesia kembali ke konstitusi UUD 1945.

Belajar dari krisis politik dan konstitusi Indonesia sejak 1955 sampai 1967, merupakan kewajiban pemerintah ORBA untuk memastikan hasil pemilu 1971 tidak menyeret Indonesia ke jurang kehancuran seperti 1955-1967.

Di satu sisi pemerintah Orba harus memenuhi tuntutan internasional / Barat untuk menerapkan demokrasi, di sisi lain pemerintah ORBA harus memastikan demokrasi yang diterapkan termasuk di dalamnya pelaksanaan pemilu tidak menimbulkan kejahatan demokrasi, di mana hasil pemilu menjerumuskan bangsa dan negara ke jurang kehancuran akibat instabilitas politik.

Pemerintah ORBA harus memastikan Pemilu 1971-1977-1982-1987-1992-1997 menghasilkan legitimasi kekuasaan pemerintah untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan, memastikan program pembangunan dan ekonomi terus berjalan dan peningkatan kesejahteraan rakyat terus dapat terus diupayakan: karena rakyat Indonesia tidak serta merta terhindar dari bencana kelaparan, kebodohan, kemiskinan, penyakit dan sejenisnya dengan penerapan sistem demokrasi dan pemilu.

Demokrasi adalah alat bukan tujuan. Jika demokrasi melahirkan racun mematikan, bencana dan malapetaka, maka sudah seharusnya pemerintah memilih opsi atau alternatif terbaik untuk kepentingan rakyat,  bangsa dan negara.

 

Tujuan Negara Indonesia

Penerapan sistem Demokrasi dan penyelenggaran pemilu tidak pernah dan bukan merupakan salah satu tujuan kemerdekaan dan pendirian negara Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Tujuan kemerdekaan dan pendirian negara Indonesia sudah tegas dan jelas disebutkan dalam pembukaan UUD 1945:

  • Membentuk suatu pemerintahan negara
  • Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
  • Memajukan kesejahteraan umum
  • Mencerdaskan kehidupan bangsa
  • Ikut serta melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia

Berdasarkan Pancasila

(” …. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”)

Lalu, di mana posisi dan peran demokrasi serta pemilu sebagai implementasi sistem demokrasi dalam sistem politik dan kenegaraan Indonesia?

Pembukaan atau mukaddimah konstitusi Indonesia jelas dan tegas menetapkan bahwa konstitusi dan susunan negara Republik Indonesia adalah berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila.

Kata kuncinya adalah konstitusi dan susunan negara Republik Indonesia harus berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, di mana kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila itu adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

 

Hikmat Kebijaksanaan vs Demokrasi

Tidak ada satu pun di dalam mukaddimah konstitusi Indonesia mencantumkan kata ‘demokrasi’ atau sistem demokrasi. Sudah pasti kata ‘demokrasi’ atau ‘sistem demokrasi’ tidak tercantum dalam kelima sila Pancasila.  Namun, Mukaddimah Konstitusi Indonesia sebagai sumber hukum tertinggi menyebutkan bahwa konstitusi dan susunan negara Republik Indonesia harus berkedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila. Mengenai implementasi dan perwujudan konstitusi dan susunan negara yang berkedaulatan rakyat itu ditegaskan oleh sila ke empat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Sistem demokrasi yang dianut dan pemilu diterapkan Indonesia harus merujuk dan dalam rangka mewujudkan susunan negara dan konstitusi yang berkedaulatan rakyat. Namun, pada kenyataannya sistem demokrasi dan pemilu yang dilaksanakan sejak kemerdekaan Indonesia terbukti tidak berhasil mewujudkan pelaksanaan atau pemenuhan kedaulatan rakyat baik dalam konstitusi mau pun dalam susunan negara.

Pelaksanaan pemilu – pilpres seharusnya adalah sebagai salah satu pelaksanaan kedaulatan rakyat, bukan sebagai satu-satunya wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Konstitusi RI hasil amandemen mengebiri kedaulatan rakyat dengan menghapus atau menihilkan wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat Indonesia.

Pasal 1 ayat 2 UUD 45 Amandemen

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”

Penjelasan Pasal 1 ayat 2

“Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa Kedaulatan di negara Indonesia itu berada ditangan rakyat. Maksudnya rakyat memiliki sebuah kekuasaan yang diserahkan kepada negara untuk menjalankan fungsinya. kedaulatan rakyat merupakan ajaran dari demokrasi dimana kekuasaan berada ditangan rakyat. Sehingga rakyatlah yang sepenuhnya memegang kekuasaan negara. Jadi pemerintahan di negara indonesia itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pelaksanaan kekuasaan rakyat terhadap negara di atur melalui mekanisme Undang-Undang Dasar 1945″.

Pada kenyataannya, tidak ada satu pasal pun dalam UUD 45 hasil amandemen yang mengatur, menetapkan bagaimana kedaulatan rakyat Indonesia itu dilaksanakan !

Undang-undang Pemilu dan semua UU terkait tidak satu pun mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana ditentukan mukaddimah konstitusi. Bahkan konstitusi hasil amandemen terbukti telah meredusir dan menihilkan kedaulatan rakyat. Semua UU terkait pelaksanaan kedaulatan rakyat bahkan telah meredusir kedaulatan rakyat, menjadi hanya sebatas pemberian suara dalam pemilu-pilpres-pilkada !

Ketika pelaksanaan pemilu – pilpres sarat dengan pencurangan, maka kedaulatan rakyat Indonesia semakin dinihilkan oleh pihak-pihak pelaku pencurangan.

 

Mark Up atau penggelmbungan DPT (Daftar Pemilih Tetap)

Penggelembungan DPT diduga pertama kali terjadi pada pemilu 2004 di mana tercatat prosentase

jumlah pemilih tercatat (DPT) dibanding jumlah penduduk melonjak menjadi 67% dibanding prosentase

DPT pada pemilu-pemilu sebelumnya sekitar 53% – 60%.

DPT : Jumlah Penduduk

1971 = 53%
1977 = 55%
1982 = 53%
1987 = 55%

1992 = 56%
1997 = 60%
1999 = 57%
2004 = 67%
2009 = 76%
2014 = 75%

2019 = 74% (estimasi KPU)

Jumlah Penduduk Indonesia

1971 = 119 juta

1980 = 147 juta (28 juta)

1990 = 179 juta (32 juta)

2000 = 206 juta (27 juta)

2010 = 237 juta (29 juta)

2020 = 269 juta (32 juta)

1999 = 203 juta

2004 = 217 juta

2009 = 233 juta

2014 = 248 juta

2018 = 264 juta

2019 = 267 juta

Analisa dan Kesimpulan

  • DPT akurat adalah pada kisaran 53% – 56 %
  • DPT 1997 mencapai 60% diduga sebagai akibat penggelembungan jumlah pemilih oleh rezim ORBA yg menggunakan segala cara untuk memastikan supremasi Golkar di Pemilu 1997 dan mempertahankan kekuasaan ORBA yang tengah menghadapi perlawanan hebat dari lawan politik ORBA
  • Pemilu pertama Pasca Reformasi 1999 mencatat DPT sebesar 57%, ditenggarai sebagai akibat koreksi terhadap penggelembungan DPT 1997
  • Bahwa Pemerintah ORBA selalu melakukan Sensus Penduduk setiap 10 tahun sekali, sehingga akurasi jumlah penduduk Indonesia dan DPT Pemilu lebih dapat dipertanggungjawabkan
  • Bahwa lonjakan tajam jumlah pemilih DPT Pemilu 2004 sebesar 67% adalah nyata-nyata sebagai akibat dari penggelembungan DPT dengan modus penggandaan pemilih, pencantuman pemilih fiktif dan pencantuman WNI di bawah umur sebagai pemilih
  • Jika mengacu pada prosentase ideal DPT 53%-57% dari jumlah penduduk, maka pada pemilu – pilpres 2004 terdapat sedikitnya penggelembungan sebesar 10% dari jumlah total pemilih atau sekitar 15 juta pemilih siluman/fiktif/ganda/di bawah umur.
  • Pada pemilu 2009 di mana DPT sebesar 76% dari total penduduk, maka dipastikan terjadi penggelembungan sekitar 20% dari jumlah DPT seharusnya atau sekitar 30 juta pemilih siluman/fiktif/ganda/di bawah umur
  • Mengacu dari jumlah pemilih pada DPT 2009 sebesar 176 juta, maka jumlah akurat pemilih Pilpres 2009 adalah sebesar 146 juta atau paling banyak 150 juta pemilih
  • Bahwa penggelembungan DPT 2009 di mana jumlah pemilih fiktif/siluman/ganda/di bawah umur sebanyak 26 juta sampai 30 juta pemilih adalah sebuah kejahatan besar terhadap demokrasi, pemilu dan kedaulatan rakyat
  • Bahwa penggelembungan DPT dengan jumlah hampir sama terjadi lagi pada pilpres 2014. Terdapat 26 juta sampai 30 juta pemilih siluman/fiktif/ganda/di bawah umur
  • Bahwa penanggungjawab penyelenggaran pemilu adalah Presiden RI
  • Bahwa penggelembungan DPT dan pencurangan DPT 2009 dan 2014 harus diusut tuntas untuk menjamin pemilu pilpres 2019 yang adil dan jujur
  • Bahwa pengusutan tuntas kejahatan penggelembungan DPT 2009 dan 2014 akan mengungkap misteri siapa pelaku utama kejahatan EKTP